Pertanyaan ini diungkapkan seorang kepala sekolah dasar negeri (di Jakarta) ketika FEE mengadakan wawancara tentang pelatihan guru dan metode mengajar yang aktif. Kami agak terkejut, pertanyaan ini sangat tidak kami harapkan. Apalagi ini datang dari seorang guru, seorang pendidik. Komentar selanjutnya, lebih membuat kami lebih menahan nafas, “Guru sekolah lain tak perlu bekerja keras, mereka bekerja seperti biasa.”
Untuk yang belum tahu tentang proses mengajar yang “biasa” adalah:
Guru datang pas jam bel berbunyi, berdiri di depan kelas. Anak-anak masuk, duduk, kemudian guru berkata, “Anak-anak coba buka halaman 25 buku IPS kalian.”
Guru, “Coba Yanti, baca satu paragraf, yang lain menyimak.” Murid yang bernama Yanti (samaran) membaca dan yang lain menyimak, (yang duduk di pojok ada dua murid laki-laki saling sikut menyikut.
Guru, “Hei! Kalian yang di sana, Dengarkan!” Guru berteriak sambil melotot.
Guru melanjutkan, “Coba kamu lanjutkan, paragraf kedua!” katanya sambil menunjuk pada salah satu anak yang tadi saling menyikut.
Itu hanya salah satu ilustrasi.
Yang lebih mencengangkan, ada guru yang bersikeras tidak mau berubah.
Dengan nada tinggi, dia berkata, “Pokoknya saya tidak bisa! Tidak mau pakai cara itu, repot!.”
Pelatih FEE masih berusaha sabar, “Ibu, ada yang bisa kami bantu? Ada kesulitan?”
“Tidak! Walaupun saya melihat Anda mengajar dan itu berhasil, saya tetap tidak mau berubah.”
Ada lagi Ibu guru yang di tengah jam mengajar, memberikan tugas anak-anak didiknya untuk menyalin bacaan dari buku pelajaran ke buku tulis kemudian pergi ke pasar, belanja!
Ini hanya beberapa contoh kasus di beberapa sekolah di Jakarta yang notabene gaji guru negerinya jauh lebih tinggi dari kota lain (Semoga tidak terjadi di kota-kota lain). Padahal dengan gaji yang sama, ada karyawan/guru/pegawai yang bekerjanya lebih berat dan lebih profesional.
Sekarang, ketika mereka diminta untuk lebih profesional mereka resah! Ini masalah mental yang parah. Amat disayangkan, mereka ini tidak sadar bahwa mereka digaji dengan uang hasil pajak, hasil kerja orang-orang lain yang bekerja membanting tulang.
Agung Wibowo
Selamat datang di dunia blog, wah ini sebetulnya yang saya tunggu-tunggu. Ide-ide dan sharing experience nya itu lohhhh.
Salam,
Sopyan
Wah makasih udah di baca.
Kalo mau adakan perubahan bisa 50 – 100 taon juga ya. Artinya kan ada juga yang mau tak mau harus ditunggu mati dulu gurunya (yg santai) baru ada masuk pola pikir yang baru dari penggantinya.
Tadi baru bertemu dgn rekan guru yg ikut minggu yang lalu Pak Agung,
beliau ngeluh, sistem (atasan) ga membolehkan dia untuk memulai yang barusan didapat, karena orang di sistem aja belum tau ttg itu, “Ntar melangkahi”, demikian pikirnya.
Terus mau dibawa kemana ya/…… mungkin untuk konsumsi pribadi aja?
Nah disitu ga semua orang bisa nahan diotak, mumpung lagi “fresh”-kan masih bisa aplikasi. Tapi apa boleh buat.
Sekarang aja pemerintah lagi gencar2nya nayangin iklan agar masuk Vocational School, saya berpikir, “Ini pemerintah mau bawa generasi ini jadi generasi bermental buruh ya.” “Apa kita sedang dipersiapkan jadi tukang bengkel, tukang jahit, tukang reparasi bergaji rendahan terus?”
Thanks buat blognya… (foto saya masuk juga ya Pak..)
Salam hangat dari Aceh
Frans
Wah, Frans!
Thanks for visiting my site.
Sorry, aku pasang fotomu tanpa ijin dulu. Tapi bolehkan? Biar ada orang yang menengok bahwa ada geliat untuk bangkit di Sigli.
Persoalan guru tersebut, hanya ada satu kata: Jalan terus! Roda perubahan tidak bisa dihentikan, yang bisa dikerjakan adalah ikut berputar bersamanya atau akan tergilas dan tertinggal. Dorong dia untuk mempraktekkan ilmu barunya, kapan lagi?
Kami di daerah juga banyak menghadapi kendala-kendala yang membuat kami tersentuh, ya…………..memang sekolah binaan kami cuma 10 sekolah tapi masalah yang kami hadapi cukup membuat hidup ini penuh tantangan.
Dari kendala yang pak Agung atau Fee rasakan di lapangan juga kami alami dilapangan.Saya dan Frans di Training Centre NGO International Personnel Services(IPS) dimana disaat melakukan bimbingan didaerah Tangse yang cukup jauh dari ibukota kabupaten Pidie seorang guru berkomentar bahwasanya dengan mengubah pola yang telah ada dengan model yang kami terapkan yang nota bene kami copy habis dari model FEE membuat anak-anak didik mereka tambah bodoh dan dianggap melanggar syariat dan……………..membuat mereka(para guru) jadi banyak kerjaan
Sehingga saya berfikir, mau jadi apa bangsa ini jika dikota besar saja kita susah untuk mengubah pola pikir apalagi di pelosok seperti yang kami lakukan.Tapi semoga dengan do’a ppejuang-pejuang pendidikan kita bisa terus bergerak untuk kemajuan anak-anak bangsa kita. Amin
assalamualaikum
thingking at the brightside
guru untuk maju menerapkan hal baru, perlu imu, pengalaman serta supervisi.
mungkin kepsek takut, anak sekolah djadiin uji coba oleh guru tanpa bekal ilmu yang cukup pada hal hal yang belum teruji secara pedagoginya..
salam
maju terus MEREKA HARUS SUKSES..
Wassalaamu’alaikum,
Pak Riza,
Terimakasih Pak, memang itu bisa terjadi. Birokrat memang terbelenggu dengan aturan-aturan yang kadang membelenggunya lahir batin.
Saran saya untuk para guru: lakukan yang kecil, lakukan yang Anda paling nyaman dulu.
Untuk Bu Elfa,
Jalan untuk kebaikan seperti mendaki, kadang terjal, kadang turun ke jurang, kadang ada jalan yang lurus dan mudah.
Semakin banyak ujian maka insyaAllah berkahnya akan semakin besar.
Agung w
mas agung,
ketika seseorang sudah berada dalam comfort zone, mereka malas untuk berubah… apalagi lebih susah?
senang anda menyentilnya 🙂
ayo bikin perubahan mas… berubah ke arah yang lebih baik..
salam edukasi guru,
ihsan
saya seorang guru TK. saya senang dengan semangat-semangat baru yang ada sekarang yang insya Alloh jika diaplikasikan di SD akan membentuk anak-anak menjadi manusia Indonesia yang lebih terdidik (baik secara mental, moral dan kepandaian)..
Menjadi guru memang tidak mudah, perlu banyak belajar. apalagi guru SD, mas. harus lebih kreatif dalam segala hal. termasuk membuat alat peraga dengan bahan yang ada, sehingga anak (terutama klas 1-3) belajar dengan benda yang real dulu (konkrit) baru ke abstrak.
tapi sayangnya, ada banyak guru yang saya temui tidak suka membaca.jadi gimana bisa menemukan hal baru (ide) dalam pengajaran kalau tidak mau membaca?
budayakan gemar membaca sejak dini.
maju terus pendidikan indonesia.
salam,
dhani
Assalaamu’alaikum,
Bu Dhani, terima kasih responnya. Benar, banyak guru yang belum suka membaca. Ini karena mereka sendiri belum merasakan nikmatnya membaca.
Kesiapan membaca perlu dibangun sejak dini di rumah.
Ini tugas utama ayah dan ibu.
Agung W
masalahnya pak, jarang orang tua yang suka membaca.
di jakarta (mungkin juga hampir di seluruh masyarakat kita), prefer to buy clothes, toys (tanpa berpikir mainan ini mengedukasi anaknya apa tidak) than books.
saya terus menerus meminta orang tua untuk mau membacakan minimum 1 buku setiap hari di rumah
di TK kami, untuk kelas B, yang sudah bisa membaca, akhirnya saya bikin log book untuk masing-masing anak.
mereka sudah memiliki habit (insya Alloh bisa terus dilanjutkan sampai mereka tua) untuk membaca 1 buku per hari di kelas. tentu buku tipis yang banyak gambar dan dengan sedikit tulisan. semakin cepat penuh daftar mereka (yang mereka tulis sendiri), semakin bangga mereka..alhamdulillah mereka sekarang sedang menyenangi kegiatan membaca untuk teman.